sentralisasi dan desentralisasi
Dalam manajemen pendidikan
dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi.
Dalam sistem sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan
pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara dalam sistem
desentralisasi, wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah
daerah. Kedua sistem tersebut dalam prakteknya tidak berlaku secara ekstrem,
tetapi dalam bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal). Hal ini juga berlaku dalam
manajemen pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan
UUSPN 1989 bahwa pendidikan nasional diatur secara terpusat (sentralisasi),
namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak
terpusat (desentralisasi). Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dan mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan pendidikan tersebut
memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.
Berikut ini penjelasan lebih
lanjut mengenai sentralisasi dan desentralisasi:
1. Konsep sentralisasi pendidikan
Sentralisasi adalah seluruh
wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari
pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut
Undang-Undang. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua
wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah
struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi
daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan
keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di
pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Sistem pengaturan yang
sentralstik ditujukkan untuk menjamin integritas, kesatuan, dan persatuan
bangsa. Tilaar (1991: 22) mengemukakan bahwa pendekatan sentralistik mempunyai
posisi yang sangat strategis dalam mengembangkan kehidupan serta kohesi
nasional karena peserta didiknya adalah kelompok umur yang secara pedaogik
sangat peka terhadap pembentukan kepribadian. Dalam jenjang pendidikan inilah
dapat diletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi ketahanan nasional, apresiasi
kebudayaan nasional, dan daerah, serta nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah
air sebagai negara kesatuan. Dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah,
pendekatan sentralistik masih diperlukan, terutama untuk menentukan kurikulum
pendidikan nasional dan menetapkan anggaran agar dapat dicapai kesamaan dan
pemerataan standar pendidikan diseluruh wilayah tanah air.
Indonesia sebagai negara
berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti
sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang.
Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba
keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat
relevansinya bagi kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya, posisi dan peran
siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki peluang untuk
mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya.
Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan
seperti :
a. Totaliterisme penyelenggaraan
pendidikan
b. Keseragaman manajemen, sejak
dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan
sekolah dan pembelajaran.
c. Keseragaman pola pembudayaan
masyarakat
d. Melemahnya kebudayaan daerah
e. Kualitas manusia yang robotic,
tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak
sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat
melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan
masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh
inisiatif dan impati, memiliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai
bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.
2. Konsep Desentralisasi
Desentralisasi di Indonesia sudah
ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5
tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat
pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995.
Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, desentralisasi
dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab
pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Beberapa alasan yang mendasari
perlunya desentralisasi :
a. Mendorong terjadinya
partisipasi dari bawah secara lebih luas.
b. Mengakomodasi terwujudnya
prinsip demokrasi.
c. Mengurangi biaya akibat alur
birokrasi yang panjang sehingga dapat meningkatkan efisiensi.
d. Memberi peluang untuk
memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
e. Mengakomodasi kepentingan
politik.
f. Mendorong peningkatan kualitas
produk yang lebih kompetitif.
Desentralisasi Community Based
Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah
antara lain :
a. Perubahan berkaitan dengan
urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
b. Perubahan berkenaan dengan
desentralisasi pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini pelempahan wewenang dalam
pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan
kabupaten/kota sebagai sentra desentralisasi.
Desentralisasi adalah
pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang
pada level bawah ( daerah ). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi
menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau
otda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil
kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Pendidikan
termasuk bidang yang didesentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten. Melalui
desentralisasi pendidikan diharapkan permasalahan pokok pendidikan yaitu
masalah mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi dan manajemen, dapat
terpecahkan. Cukupkah desentralisasi pendidikan pada tingkat pemerintah
kota/kabupaten? Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa desentralisasi
pendidikan tidak cukup hanya pada tingkat kota/kabupaten. Desentralisasi
pendidikan untuk mencapai otonomi pendidikan yang sesungguhnya harus sampai
pada tingkat sekolah secara individual.
Mengapa perlu desentralisasi
pendidikan?
Berbagai studi tentang desentalisasi
menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim,
mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah
tidak bisa dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi
sekolah yang selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak
masalah. Maka sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus
didesentralisasikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah
Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management).
Dalam bidang pendidikan,
desentralisasi mengandung arti sebagai pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada
aparat pengelolaan pendidikan yang ada didaerah baik pada tingkat provinsi
maupun lokal, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk menigkatkan efisiensi
kerja dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Dalam manajemen pendidikan dasar,
desentralisasi memang dapat melemahkan tumbuhnya perasaan nasional yang sehat,
dapat menimbulkan rasa kedaerahaan yang berlebihan, serta akan menjurus kepada
isolasi dan pertentangan. Namun, dengan pengakuan dan kesepakatan untuk
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bangsa dan negara, kecenderungan
separatisme dapat dikurangi dan ditekan seminimal mungkin.
Banyak pakar dan pemerhati
pendidikan menyumbangkan pikirannya untuk mengkaji model MBS yang cocok dengan
kondisi negeri ini. Namun jarang sekali yang menyinggung masalah isi (content)
yang tak lain merupakan hakikat desentralisasi itu sendiri. Hakikat
desentralisasi pendidikan adalah “apa dan kepada siapa” (what and to whom) dan
bukan aturan-aturannya (regulation).
Menurut Wohlstetter dan Mohrman
(1993) terdapat empat sumber daya yang harus didesentralisasikan yaitu
power/authority, knowledge, information dan reward. Pertama,
kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke
sekolah-sekolah secara langsung yaitu melalui dewan sekolah. Sedikitnya
terhadap tiga bidang penting yaitu budget, personnel dan curriculum. Termasuk
dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemperhentian kepala
sekolah, guru dan staff sekolah.
Kedua, pengetahuan (knowledge)
juga harus didesentralisasikan sehingga sumberdaya manusia di sekolah mampu
memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu
didesentralisasikan meliputi : keterampilan yang terkait dengan pekerjaan
secara langsung (job skills), keterampilan kelompok (teamwork skills) dan
pengetahuan keorganisasian (organizational knowledge). Keterampilan kelompok
diantaranya adalah pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan keterampilan
berkomunikasi. Termasuk dalam pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman
lingkungan dan strategi merespon perubahan.
Ketiga, hakikat lain yang harus
didensentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik
informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus
didistribusikan ke seluruh constituent sekolah bahkan ke seluruh stakeholder.
Apa yang perlu disebarluaskan? Antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran
dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah,
kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran informasi bisa secara
vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan.
Keempat, pengaharhaan (reward)
adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Penghargaan bisa
berupa fisik maupun non-fisik yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja.
Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang. Penghargaan
non-fisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar
atau konferensi dan penataran.
Dengan mendesentralisasikan empat
bidang tersebut diharapkan tujuan utama MBS akan tercapai. Tujuan utama MBS tak
lain adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja
belajar siswa menjadi lebih baik.
Implikasi desentralisasi
manajemen pendidikan adalah kewenangan yang lebih besar diberikan kepada
kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan sesuia dengan potensi dan
kebutuhan daerahnya; perubahan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan efisiensi serta efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pada
unit-unit kerja di daerah; kepegawaian yang menyangkut perubahan dan
pemberdayaan sumber daya manusia ynag menekankan pada profesionalisme; serta
perubahan anggaran-anggaran pembangunan pendidikan (DIP) yang dikelola langsung
dari BKPN (Bappenas) ke kabupaten dalam bentuk block grand sehingga
menhilangkan ketakutan dan pngotakkan dalam penanganan anggaran (BPPN dan Bank
Dunia, 1999).
Desentralisasi pengelolaan
sekolah perlu diletakkan dalam rangka mengisi kebhinekaan dalam wadah negara
kesatuan yang dijiwai oleh rasa persatuan dan kesatuan bangsa; bukan
berdasarkan kepentingan kelompok dan daerah secara sempit. Pelaksanaan
desentralisasi dalam pengelolaan sekolah memerlukan kesiapan berbagai perangkat
pendukung di daerah. Sedikitnya terdapat empat hal yang harus dipersiapkan agar
pelaksanaan desentralisasi berhasil, yaitu:
a. pertauran perundang-undangan
yang mengatur desenralisasi pendidikan dari tingkat daerah, provinsi sampai
tingkat kelembagaan
b. pembinaan kemampuan daerah
c. pebentukan perencanaan unit
yang bertanggung jawab untuk menyusun perencanaan penddikan
d. perangkat sosial, berupa
kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan membantu menciptakan iklim yang
kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi tersebut.
Komentar
Posting Komentar